Jakarta (03/07/2025) – Kementerian Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenham RI) menggelar konferensi pers terkait usulan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bertempat di Aula Lantai 8 Kemenham RI pada Kamis (03/07).
Dihadapan para wartawan, Menteri HAM Natalius Pigai menilai UU tersebut perlu direvisi mengingat sudah berusia 24 tahun dan banyak isinya yang sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Disamping itu, revisi ini bagian dari langkah penguatan instrumen HAM yang sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045 di bawah kepemimpinan Presiden RI Prabowo Subianto.
"Salah satu fondasi yang harus diperkuat adalah bidang HAM. Maka tentu instrumen-instrumen HAM harus diperkuat, direvitalisasi. Kalau tidak ada, kita buat yang baru. Kalau yang bagus, kita pertahankan,” ujar Pigai.
Adapun poin penting dalam revisi yang diusulkan adalah menyesuaikan perubahan pola pelanggaran HAM. Pigai menjelaskan bahwa aktor pelanggar HAM kini tidak hanya datang dari negara (state actors), tetapi juga datang dari aktor non-negara seperti korporasi maupun individu.
Kemudian dalam konteks HAM modern, aktor non-negara seperti korporasi perlu dimasukkan dalam regulasi karena berpotensi melakukan pelanggaran HAM berskala besar, termasuk lewat aktivitas bisnis yang eksploitatif.
“Di Indonesia, isu bisnis dan HAM baru masuk ke dalam Peraturan Presiden (Perpres). Sementara pelaku bisnis belum diatur dalam UU HAM,” ucapnya.
Demikian pula dengan pelaku individu yang melakukan pelanggaran HAM secara terencana, sistematis, dan dalam skala luas. Menurut Pigai, mereka perlu diakomodasi sebagai aktor dalam UU yang baru.
Dalam kesempatan ini pula, Pigai mengusulkan agar praktik korupsi dimasukan dalam domain HAM pada revisi UU tersebut. Menurutnya, ada sejumlah bentuk korupsi yang dapat memiliki dampak jauh lebih luas. Terutama, yang terjadi dalam keadaan penanganan bencana atau pandemi sehingga menghilangkan hak-hak dasar warga negara bahkan hingga menyebabkan kematian.
Namun demikian, Pigai tekankan bahwa tidak semua tindak pidana korupsi bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Menurutnya, hanya korupsi yang dilakukan secara terencana, masif, dan sistematis serta berdampak langsung pada hak-hak dasar masyarakat luas yang dapat dikategorikan pelanggaran HAM.
Saat ini, Kemenham RI telah menyelesaikan sekitar 60 % dari draf awal revisi. Sisanya, 40 %, akan dikaji lebih lanjut dan melibatkan masukan dari publik, para ahli hukum, serta 25 kementerian/lembaga terkait.
“Kami sudah punya draf awal dan naskah akademiknya. Kami juga sudah mengundang masukan dari berbagai pihak, termasuk komisi-komisi. Nantinya, setelah kajian selesai, kami akan membuka akses kepada masyarakat agar semua bisa ikut memberikan masukan,” ujar Pigai.